Kamis, 25 Desember 2008

Said bin Jubair, potret keteguhan seorang ulama

Topik: Kisah Kaum Salaf
Pada masa pemerintahan Bani Umayyah, Hajjaj bin Yusuf diamanahkan untuk menjadi Wakil Gubernur Baghdad. Namun pada waktu itu orang yang membela kebenaran dianggap ingkar.

Sabili No.03 Th.X

Pada masa pemerintahan Bani Umayyah, Hajjaj bin Yusuf diamanahkan untuk menjadi Wakil Gubernur Baghdad. Namun pada waktu itu orang yang membela kebenaran dianggap ingkar. Mencegah kezaliman berarti pemberontak, dan mengungkapkan perasaan disebut pengkhianat. Sa'id bin Jubair, salah seorang ulama pada masa mendapatkan cap semua itu.

Setelah beberapa hari dalam pencarian, akhirnya Sa'id bin Jubair dapat ditemukan dan dibawa ke Baghdad untuk dihadapkan kepada wali yang zalim. Setiba di istana terjadilah dialog antara bin Jubair dan Hajjaj bin Yusuf.

"Siapa nama Anda?" tanya Hajjaj. Sa'id bin Jubair (yang bahagia anak orang yang teguh, red)," jawab Sa'id.

"Tidak, namamu yang layak adalah Syaqiy bin Kusair (si celaka anak si pecah, red)," hardik sang wakil gubernur. Mendengar demikian dengan tegas Sa'id berkata, "Yang memberi nama adalah orang tuaku, bukan Anda. Anda tidak berhak mengubahnya."

Belum lagi Sa'id selesai bicara, tiba-tiba Hajjaj menyelanya, "Celakalah kamu dan ibu bapak kamu yang memberi nama seperti itu."

"Anda tidak dapat mencela seperti itu. Hanya Allah Yang Maha Kuasa."

"Diam! Jangan banyak bicara! Saya akan kirim kamu ke neraka."

"Jika saya tahu bahwa Anda berkuasa menentukan tempatku di akhirat, tentu sejak dari dulu saya menyembah Anda."

"Bagaimana pendapatmu tentang Ali bin Abi Thalib?"

"Kalau saya pernah masuk surga atau neraka, tentu saya akan katakan kepada Anda siapa saja yang terlihat di dalamnya."

"Bagaimana pendapatmu tentang khalifah-khalifah yang lain?"

"Bukan tugasku menyelidiki amalan-amalan mereka."

"Siapakah di antara mereka yang kamu sukai?"

"Yang paling tunduk kepada Allah."

"Menurutmu siapakah yang paling tunduk kepada Allah?"

"Hanya Allah Yang Maha Mengetahui."

"Mengapa engkau tidak pernah tertawa?"

"Hati kita tidak sama."

Hajjaj menyuruh salah seorang prajuritnya untuk mengeluarkan permata yang mahal-mahal, seperti nilam dan mutiara untuk diletakkan di hadapan Sa'id. Melihat sikap buruk demikian Sa'id berkata, "Tidak ada gunanya Anda membanggakan harta karena harta itu tidak dapat menyelamatkan diri Anda dari dahsyatnya hari kiamat."

Hajjaj makin penasaran. Lalu diperintahkan lagi beberapa bawahannya untuk membawa alat-alat musik dan memainkannya di hadapan Sa'id. Namun ia tetap tidak bergeming. Ketika itu Hajjaj menjadi emosi. Dengan penuh kemarahan ia berkata, "Katakan dengan cara apa saya harus membunuh kamu Sa'id?"

Dengan tenang Sa'id menjawab, "Terserah Anda dengan cara apa saja, yang pasti Anda akan menerima balasan yang lebih pedih di akhirat nanti."

Setelah berpikir sejenak, lalu Hajjaj mulai membujuk seraya berkata, "Apakah kamu sudi meminta grasi? Saya bersedia memberimu ampunan."

"Saya hanya mau meminta ampunan kepada Allah, tidak kepada Anda."

Kesal karena tidak dapat membujuk Sa'id, akhirnya ia memanggil beberapa pengawal dan berkata, "Bawa dan bunuh dia!" Para pengawal dengan sigap memenuhi titah Hajjaj. Namun ketika mendekati pintu Sa'id tersenyum. Seorang pengawal memberitahukan hal itu kepada Hajjaj. Ia pun dipanggil kembali dan ditanya, "Mengapa kamu tersenyum?"

"Saya tersenyum karena heran melihat Anda berani melawan Allah."

Para prajurit sibuk menyiapkan natha', hamparan kulit kerbau yang biasa digunakan untuk menampung darah dan bangkai orang yang dihukum pancung dihadapan khalayak ramai. Ketika itu Hajjaj berseru, "Cepat bunuh dia!" Sa'id dipegang kuat-kuat, namun ia tidak melawan, malahan dengan tenang ia hadapkan wajahnya ke langit, sedangkan bibirnya tidak henti-hentinya menyebut Asma Allah. Melihat demikian, Hajjaj semakin geram, lalu berkata, "Tundukkan dan tekan kepalanya!"

Sa'id tidak peduli lagi dengan ocehan Hajjaj. Dengan penuh kesungguhan ia berucap, "Aku hadapkan wajahku kepada yang menciptakan langit dan bumi dengan penuh keikhlasan dan aku tidak termasuk orang-orang musyrik."

Setelah itu Sa'id memalingkan wajahnya ke kiblat, tapi Hajjaj menyuruh para pengawal untuk memutar wajahnya sehingga membelakangi kiblat. Kendati demikian, ia masih membaca ayat, ".... kemana saja kamu menghadap, di situlah wajah Allah....: (QS Al-Baqarah 115). Hati Hajjaj semakin sakit karena siksaan batin yang dideritanya. Lalu ia memerintahkan , "Tekankan mukanya ke tanah!" Mendengar itu , Sa'id kembali membaca ayat, "Darinya (tanah) Kami menciptakan kalian, dan padanya Kami mengembalikan kalian, dan daripadanya (pula) Kami mengeluarkan (membangkitkan) kamu sekalian." (QS Toha 55)

Hajjaj bertambah kalap, lalu berseru, "Cepat potong lehernya!" Seketika lehernya ditekan kuat-kuat, ia berdoa, "Ya Allah, saya menjadi manusia terakhir yang dianiaya Hajjaj. Setelah hari ini janganlah Engkau beri kesempatan baginya untuk berbuat aniaya seperti ini kepada hamba-hamba-Mu yang lain. Asyhadu allaa ilaaha illallah wa asyhadu anna muhammadar rasulullah." Pedang itu pun dengan cepat memotong lehernya. Berpisahlah kepala orang salih sesudah 49 tahun lamanya membawa jiwa yang besar. Semua yang hadir sempat tercengang karena menyaksikan kepala Sa'id terpisah dari badannya namun masih sempat menyebut Asma Allah dengan senyuman yang mengejek dunia.

Beberapa hari kemudian Hajjaj semakin tersiksa batinnya hingga mengalami gila, tak berapa lama kemudian ia mati.

nang Tahanyar (yang terbaru)

Berita Wafatnya Muhammad Saw
Topik: Kisah Sahabat

Pada saat tersebar berita tentang wafatnya Rasulullah, semua orang tampak kaku dan bingung dengan perasaan yang tidak menentu. Mereka bergelut dengan suatu kepedihan yang amat dalam walaupun sebelumnya telah ada isyarat akan meninggalnya beliau.

(Danny Hermansyah) -
Pada saat tersebar berita tentang wafatnya Rasulullah, semua orang tampak kaku dan bingung dengan perasaan yang tidak menentu. Mereka bergelut dengan suatu kepedihan yang amat dalam walaupun sebelumnya telah ada isyarat akan meninggalnya beliau. Diantaranya Rasul telah jatuh sakit sehingga tidak bisa keluar rumah untuk memimpin shalat berjama’ah, dan beliau telah memberikan wasiat-wasiat terakhir, sebagai indikasi bahwa beliau hendak berpamitan untuk kembali kepada Allah. Ummat pada saat itu telah menerima Qur’an dan ummat saat itu telah menerima khutbah perpisahan dan semua tak lain merupakan isyarat.

Tetapi tetap saja apa yang terjadi saat itu banyak yang tidak kuasa menerima kenyataan. Salah satunya adalah Umar, kala mendengar berita itu ia keluar rumah dan berkata pada setiap orang yang ia temui:
"Orang-orang munafik telah mengira Rasul meninggal. Beliau tidak mati, melainkan pergi menghadap Tuhannya sebagaimana telah dilakukan Musa bin Imran dahulu. Musa pergi meninggalkan kaumnya selama 40 hari, kemudian kembali lagi setelah diberitakan mati. Demi Allah, Muhammad saw pasti akan kembali lagi! Siapa yang berani mengatakan beliau wafat akan kupotong tangan dan kakinya."

Begitu kira-kira yang diucapkan Umar, tetapi untung saat itu ada Abu Bakar yang paling disegani para sahabat termasuk Umar sendiri. Abu Bakar memerintahkan Umar untuk tenang dan diam, tapi Umar malah ngotot. Abu Bakar kemudian mengambil posisi di tengah-tengah kaum Muslimin dan berkata:
"Hai kaum Muslimin, barang siapa yang menyembah Muhammad, sekarang beliau telah wafat. Barang siapa menyembah Allah, maka Allah tetap hidup dan tidak mati."

Kemudian Abu Bakar membacakan Qur’an surat Ali-Imran ayat 144…."Muhammad itu tidak lain hanyalah seorang Rasul. Sungguh telah berlalu sebelumnya beberapa Rasul. Apakah jika dia wafat atau dibunuh kamu akan berbalik ke belakang (murtad)? Barang siapa yang berbalik ke belakang, maka ia tidak akan mendatangkan mudharat kepada Allah sedikitpun, dan Allah akan memberi balasan kepada orang-orang yang bersyukur."

Sebenarnya Umar tahu tentang ayat itu, tetapi kecintaan Umar yang begitu dalam kepada Rasulullah menjadikan dia tak dapat mengendalikan emosinya. Ia tak mampu menerima kenyataan bahwa orang yang selama ini ia cintai meninggalkannya.

Orang yang sedih akan wafatnya Rasul sebenarnya bukan Umar saja, tetapi jauh sebelum meninggalnya Rasul, Abu Bakar telah membaca firasat ketika turunnya surat al-Maidah ayat 3, dan saat itu ummat Islam merasa gembira karena merasa Islam telah menjadi ajaran yang utuh. Tetapi Abu Bakar justru menilai lain. Beliau merasakan bahwa tugas Nabi telah selesai, dan logikanya Nabi akan segera menghadap Allah swt. Sejak saat itulah Abu Bakar banyak menangis.

Kecintaan para sahabat pada Rasul sungguh luar biasa dan itu tidak tumbuh secara dipaksakan tapi secara alamiah. Dalam proses perjalanan da’wah Islam, mereka menumbuhkan cinta kasih sayang. Dan ini berkaitan erat dengan karakter Rasul yang penuh pesona.

Ketika Perang Uhud pernah tersebar berita bahwa Rasul telah wafat. Berita itu menyebar begitu cepat, sehingga melemahkan tentara Islam yang sedang terdesak oleh musuh. Umar bin Khattab dan Thalhah yang bergabung bersama sahabat Muhajirin dan Anshar meletakkan senjata di tangannya. Saat itu Anas datang menghampiri mereka. "Kenapa kalian duduk?" tanya Anas.
"Rasulullah terbunuh," mereka menjawab lemah.
Anas berseru, "Lalu apa yang hendak kalian perbuat dengan hidup ini setelah beliau tidak ada? Ayo bangun! Matilah kalian sebagaimana beliau mati."

Seketika itu juga mereka menerima saran Anas dan bangkit. Anas sendiri terbunuh dalam peperangan itu.

nang Tahanyar (yang terbaru)

Berita Wafatnya Muhammad SAW
Diupdate pada hari: Selasa, 04 November 2003
Topik: Kisah Sahabat
Pada saat tersebar berita tentang wafatnya Rasulullah, semua orang tampak kaku dan bingung dengan perasaan yang tidak menentu. Mereka bergelut dengan suatu kepedihan yang amat dalam walaupun sebelumnya telah ada isyarat akan meninggalnya beliau.

(Danny Hermansyah) -
Pada saat tersebar berita tentang wafatnya Rasulullah, semua orang tampak kaku dan bingung dengan perasaan yang tidak menentu. Mereka bergelut dengan suatu kepedihan yang amat dalam walaupun sebelumnya telah ada isyarat akan meninggalnya beliau. Diantaranya Rasul telah jatuh sakit sehingga tidak bisa keluar rumah untuk memimpin shalat berjama’ah, dan beliau telah memberikan wasiat-wasiat terakhir, sebagai indikasi bahwa beliau hendak berpamitan untuk kembali kepada Allah. Ummat pada saat itu telah menerima Qur’an dan ummat saat itu telah menerima khutbah perpisahan dan semua tak lain merupakan isyarat.

Tetapi tetap saja apa yang terjadi saat itu banyak yang tidak kuasa menerima kenyataan. Salah satunya adalah Umar, kala mendengar berita itu ia keluar rumah dan berkata pada setiap orang yang ia temui:
"Orang-orang munafik telah mengira Rasul meninggal. Beliau tidak mati, melainkan pergi menghadap Tuhannya sebagaimana telah dilakukan Musa bin Imran dahulu. Musa pergi meninggalkan kaumnya selama 40 hari, kemudian kembali lagi setelah diberitakan mati. Demi Allah, Muhammad saw pasti akan kembali lagi! Siapa yang berani mengatakan beliau wafat akan kupotong tangan dan kakinya."

Begitu kira-kira yang diucapkan Umar, tetapi untung saat itu ada Abu Bakar yang paling disegani para sahabat termasuk Umar sendiri. Abu Bakar memerintahkan Umar untuk tenang dan diam, tapi Umar malah ngotot. Abu Bakar kemudian mengambil posisi di tengah-tengah kaum Muslimin dan berkata:
"Hai kaum Muslimin, barang siapa yang menyembah Muhammad, sekarang beliau telah wafat. Barang siapa menyembah Allah, maka Allah tetap hidup dan tidak mati."

Kemudian Abu Bakar membacakan Qur’an surat Ali-Imran ayat 144…."Muhammad itu tidak lain hanyalah seorang Rasul. Sungguh telah berlalu sebelumnya beberapa Rasul. Apakah jika dia wafat atau dibunuh kamu akan berbalik ke belakang (murtad)? Barang siapa yang berbalik ke belakang, maka ia tidak akan mendatangkan mudharat kepada Allah sedikitpun, dan Allah akan memberi balasan kepada orang-orang yang bersyukur."

Sebenarnya Umar tahu tentang ayat itu, tetapi kecintaan Umar yang begitu dalam kepada Rasulullah menjadikan dia tak dapat mengendalikan emosinya. Ia tak mampu menerima kenyataan bahwa orang yang selama ini ia cintai meninggalkannya.

Orang yang sedih akan wafatnya Rasul sebenarnya bukan Umar saja, tetapi jauh sebelum meninggalnya Rasul, Abu Bakar telah membaca firasat ketika turunnya surat al-Maidah ayat 3, dan saat itu ummat Islam merasa gembira karena merasa Islam telah menjadi ajaran yang utuh. Tetapi Abu Bakar justru menilai lain. Beliau merasakan bahwa tugas Nabi telah selesai, dan logikanya Nabi akan segera menghadap Allah swt. Sejak saat itulah Abu Bakar banyak menangis.

Kecintaan para sahabat pada Rasul sungguh luar biasa dan itu tidak tumbuh secara dipaksakan tapi secara alamiah. Dalam proses perjalanan da’wah Islam, mereka menumbuhkan cinta kasih sayang. Dan ini berkaitan erat dengan karakter Rasul yang penuh pesona.

Ketika Perang Uhud pernah tersebar berita bahwa Rasul telah wafat. Berita itu menyebar begitu cepat, sehingga melemahkan tentara Islam yang sedang terdesak oleh musuh. Umar bin Khattab dan Thalhah yang bergabung bersama sahabat Muhajirin dan Anshar meletakkan senjata di tangannya. Saat itu Anas datang menghampiri mereka. "Kenapa kalian duduk?" tanya Anas.
"Rasulullah terbunuh," mereka menjawab lemah.
Anas berseru, "Lalu apa yang hendak kalian perbuat dengan hidup ini setelah beliau tidak ada? Ayo bangun! Matilah kalian sebagaimana beliau mati."

Seketika itu juga mereka menerima saran Anas dan bangkit. Anas sendiri terbunuh dalam peperangan itu.